blog how to, blog trick, blog tips, tutorial blog, blog hack

Rabu, 26 Januari 2011

UU Parpol : Menciptakan Monopoli Dalam Demokrasi

UU Parpol : Menciptakan Monopoli Dalam Demokrasi: ""UU parpol baru memperketat syarat pendirian partai. Upaya untuk meningkatkan kualitas partai atau membangun monopoli dalam demokrasi?" Pada 16 Desember 2010, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengesahkan Undang-Undang (UU) Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. UU partai politik (parpol) baru ini diajukan oleh DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) pada 13 Oktober 2010 dan mulai dibahas pada 25 November 2010. Pembahasaan RUU itu memakan waktu sekitar tiga minggu sebelum disahkan menjadi UU. Dari kunjungan Mimbar Politik ke Sekretariat Negara (5/1), didapat informasi bahwa sekalipun UU parpol baru itu sudah disahkan oleh DPR, tetapi naskahnya belum diterbitkan secara resmi oleh pemerintah. Meski demikian, draft final UU itu seperti yang disahkan oleh Rapat Paripurna DPR, sudah beredar ke publik dan pernah diterbitkan oleh media online detik.com (17/12/2010). UU parpol baru ini merubah cukup banyak ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2008 (UU parpol lama). Ada 17 pasal yang dirubah dengan penambahan 1 pasal baru. Di tingkatan ayat, ada 27 ayat yang dirubah dengan penambahan 14 ayat baru. Salah satu perubahan ketentuan yang memicu kontroversi adalah mengenai syarat pembentukan dan pendaftaran parpol sebagai badan hukum, yang jauh lebih berat daripada UU sebelumnya. Di UU parpol yang lama, untuk membentuk partai, syaratnya harus ada paling sedikit 50 Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah berusia 21 tahun sebagai pendiri. Sementara, di UU parpol baru, syarat untuk mendirikan partai, harus ada paling sedikit 30 WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah di setiap provinsi sebagai pendiri. Baru kemudian, para pendiri yang jumlahnya minimal 30 orang di setiap provinsi itu diwakili oleh 50 di antara mereka untuk mendaftarkan partai tersebut. Begitu pula, di UU parpol lama, untuk menjadi badan hukum, sebuah partai harus memiliki kepengurusan di minimal 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan di setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Di UU parpol baru, untuk menjadi badan hukum, sebuah partai harus mempunyai kepengurusan di 100% provinsi, dan minimal 75% dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, serta 50%, dari jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan. Perubahan syarat lainnya adalah mengenai kantor partai. Kalau di UU parpol lama, hanya disebutkan bahwa untuk menjadi badan hukum, partai harus memiliki kantor tetap. Sekarang ini, aturan itu diperketat dengan merinci bahwa partai harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilihan Umum (Pemilu). Ini berarti dibutuhkan dana yang cukup besar untuk mendirikan sebuah partai. Ketentuan di atas tidak hanya berlaku untuk partai baru, tetapi juga untuk partai-partai lama. Dalam ketentuan peralihan di pasal 51 UU parpol baru, disebutkan bahwa partai politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan UU sebelumnya tetap wajib melakukan penyesuain dengan UU parpol baru ini dan melakukan verifikasi. Artinya, partai-partai lama juga terancam bubar jika tidak dapat memenuhi ketentuan UU parpol yang baru. Inilah yang membuat geram sejumlah partai kecil sekarang ini. Pertanyaannya, kenapa syarat pembentukan parpol sekarang ini dibuat lebih berat? Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ganjar Pranowo, mengatakan, tujuannya adalah agar pembentukan partai dilakukan secara serius, sehingga partai betul-betul kokoh, terwujud sifat nasionalnya, dan melaksanakan fungsinya untuk merepresentasikan dan memperjuangkan rakyat. Menurut Ganjar, syarat-syarat pendirian itu sebenarnya tidak berat jika pembentukan partai dilakukan secara serius. "Kalau dengan ini you serius, pasti bisa, tapi kalau you tidak serius, ya sudah," ujarnya kepada Mimbar Politik (10/1). Ganjar mensinyalir bahwa pendirian parpol sekarang ini cenderung hanya ditujukan untuk mengikuti Pemilu dan bukan untuk memperjuangkan rakyat dengan serius. Kalau sudah ikut Pemilu, lalu suaranya tidak signifikan dan tidak lolos parliamentary threshold, maka partainya menghilang. "Berapa partai sich yang setelah Pemilu tidak dapat suara, tapi partainya masih eksis? Anda boleh hitung dech. Saya kira, anda cari kepengurusan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, sudah tidak ada," katanya. Selanjutnya, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini berpendapat, semangat UU parpol baru adalah penyederhanaan sistem kepartaian. Ia menyinggung kerumitan yang bisa dihadapi rakyat saat Pemilu jika jumlah partai yang ada terlalu banyak, seperti surat suara yang terlalu besar. Menurutnya, publik menginginkan agar jumlah partai tidak terlalu banyak. Dari shopping dan konsultasi keliling para penyusun UU parpol dengan masyarakat, didapat informasi bahwa masyarakat menghendaki syarat pendirian parpol dibuat ketat. "Masukannya itu, ada yang angka satu juta pendirinya, ada yang mengatakan 10.000," ungkap Ganjar. Menanggapi syarat pendirian partai berupa jumlah dan persebaran pendiri serta kepengurusan parpol, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Irwansyah, menyatakan bahwa jumlah kepengurusan memang menentukan seberapa luas sebuah partai memiliki jaringan ke pemilih potensial. Dan partai-partai yang tidak memiliki jaringan luas memang beresiko untuk tidak mendapatkan suara banyak dalam Pemilu. Namun, yang ganjil dengan UU parpol baru adalah kenapa resiko seperti itu sampai diatur, padahal parpol yang memiliki resiko seperti itu bisa tersingkir dengan sendirinya dalam Pemilu. "Mosok resiko bahwa kalau sedikit jumlah cabangnya, dia akan sedikit juga jumlah suaranya, harus diatur. Itu khan aneh," ujarnya kepada Mimbar Politik (10/1). Logika bahwa jika sebuah partai memiliki jumlah dan persebaran pendiri serta kepengurusan yang luas, yang berarti juga memiliki jaringan yang luas ke pemilih potensial, maka partai itu berkualitas, memang problematik. Karena kalau logikanya seperti itu, maka partai-partai yang lolos parliamentary threshold dan memiliki kursi di DPR melalui Pemilu 2009 seharusnya berkualitas. Namun, fakta-fakta yang ada sepertinya berbicara lain. Ini terlihat dari sepak terjang DPR di tahun 2010 lalu. Ambil contoh, kasus kunjungan kerja (kunker) dan studi banding yang sering tidak jelas apakah benar-benar untuk pekerjaan atau plesiran. Padahal, kunker dan studi banding itu menggunakan anggaran negara. Data dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menyebutkan, alokasi anggaran Kunker DPR ke luar negeri dalam APBN dan APBN-Perubahan tahun 2010 masing-masing adalah Rp122.091.796.000 dan Rp48.259.788.000. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebutkan jumlah yang lebih besar lagi. Menurut data Formappi, biaya kunjungan kerja ke luar negeri selama 2010 adalah Rp162.944.764.000. Sementara itu, biaya studi banding DPR adalah Rp73.521.600.000 atau 42% dari alokasi dana untuk Prolegnas sebesar Rp173,4 milyar. Ditambah dengan biaya kunjungan kerja di dalam negeri yang berjumlah Rp404 milyar, maka total biaya kunjungan kerja ke luar dan dalam negeri adalah Rp640.466.364.000 atau 52% dari keseluruhan anggaran DPR sebesar Rp1,22 triliun. Kalau kuantitas dan persebaran pendiri serta kepengurusan tidak memiliki hubungan logis dengan kualitas partai, lalu faktor apa yang lebih mempengaruhi kualitas partai? Irwansyah berpendapat, seharusnya yang dilihat adalah atmosfir politiknya yang secara berlebihan memberikan kekuasaan kepada uang dan modal untuk menentukan siapa yang bisa terlibat dalam politik. Ini yang membuat parpol menjadi tidak serius memperjuangkan rakyat. "Alih-alih mengutamakan untuk menyusun program yang merupakan representasi dari aspirasi rakyat yang luas, dia lebih memfokuskan bagaimana untuk berkompetisi di dalam pertarungan politik uang," katanya. Dilihat dari konteks ini, Irwansyah berpendapat, UU parpol baru sarat dengan kepentingan membatasi kompetitor dari partai-partai besar. Banyaknya partai gurem yang selama ini ikut sebagai kompetitor dalam Pemilu telah memaksa partai-partai besar untuk mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Adapun untuk meningkatkan kualitas partai dan demokrasi, Irwansyah menyatakan, "harusnya ciptakan atmosfir yang membatasi dominasi uang dan pengaruh kekuasaan modal di dalam kompetisi politik. Itu justru lebih penting ketimbang membatasi hak orang untuk berkumpul dan berserikat." (Mohamad Zaki Hussein)"

0 comments:

Posting Komentar

Terimaksih anda Telah Mengomentari artikel saya.

 

© Copyright by Berita online Lampung Tengah | By Nurmanto