blog how to, blog trick, blog tips, tutorial blog, blog hack

Sabtu, 29 Januari 2011

"Ini Adalah Indikasi Perdagangan Manusia"

"Ini Adalah Indikasi Perdagangan Manusia": "Persoalan seperti tak henti-hentinya menimpa buruh migran Indonesia. Beberapa waktu lalu, muncul kasus Sumiati, yang bibir bagian atasnya digunting oleh majikannya di Arab Saudi. Lalu, ada kasus Kikim Komalasari, yang disiksa sampai tewas oleh majikannya di Arab Saudi, dan jenazahnya dibuang ke tong sampah. Migrant Care mencatat, pada tahun 2010, terdapat 45.845 masalah buruh migran, sementara pada tahun 2009, terdapat 5.314 kasus kekerasan dan 1.018 kasus kematian buruh migran. Pertanyaannya, kenapa buruh migran Indonesia rentan terkena masalah? Dan apa solusinya? Berikut transkrip diskusi publik Departemen Pendidikan dan Propaganda (DPP) Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) dengan tajuk "Derita Buruh Migran Indonesia: Apa Jalan Keluarnya?" (3/12/2010). Diskusi ini menghadirkan Nur Harsono (Migrant Care), Beno Widodo (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) dan Jamaluddin Suryahadikusuma (Serikat Buruh Migran Indonesia) sebagai narasumber, dengan moderator, Ruth Indiah Rahayu (PRP). Adapun transkrip ini dikerjakan oleh Rini Kusnadi (PRP). Ruth Indiah Rahayu: Selamat malam dan terima kasih atas kehadirannya di rumah Dolorosa. Ini merupakan diskusi terbuka yang secara rutin akan diselenggarakan oleh DPP KP-PRP dan diskusi selanjutnya juga akan kita selenggarakan di sini. Mengapa diadakan di sini? Karena sebelumnya, di sini setiap bulan kita selalu mengadakan diskusi. Dan kedua, jika diskusi ini dilakukan di Garuda, biasanya bisa kita lakukan suatu diskusi yang serius tetapi lebih santai daripada jika kita lakukan di sekretariat. Di diskusi pertama ini, kita akan membahas tentang buruh migran, karena masalah ini sedang hangat dan menjadi masalah besar di Indonesia. Sebagai pembicara, kami mengundang Mas Jamaluddin dari SBMI dan satu lagi, Mas Beno Widodo dari KASBI, satu lagi dari Migrant Care, yaitu Mas Nur. Kalau saya baca di Kompas tanggal 26 November, yang secara khusus membahas buruh migran, dalam berita ini, Bank Dunia memberitakan bahwa pendapatan dari buruh migran hingga tahun 2010 sebesar US$7,1 miliar. Kami ingin mendengarkan dari narasumber mengenai problem TKI yang tidak pernah mendapatkan satu kebijakan yang serius dari pemerintah, dan kenapa masalah yang diajukan oleh kawan-kawan adalah moratorium (menghentikan pengiriman buruh migran). Mungkin ada alternatif lain atau terobosan selain moratorium. Ketiga, sebetulnya buruh migran ini perlu atau tidak bagi kita, karena perdebatan di televisi menyatakan, "kalau kita tidak melakukan kebijakan buruh migran, ke mana buruh itu akan bekerja?" dan apa alternatif pekerjaan untuk buruh-buruh yang ada di Indonesia? Ada kawan KASBI yang bisa cerita mengenai kondisi kawan-kawan buruh manufaktur yang banyak dipecat. Silahkan narasumber berbicara dan silahkan partisipasinya dari peserta. Saya persilahkan Mas Beno untuk bicara. Beno Widodo: Selamat malam kawan-kawan. Sebelumnya mohon maaf, agak canggung, karena tidak biasa jadi narasumber. Kalau ngomongin soal buruh migran, tidak secara khusus TKW tapi secara umum TKI, maka menurut KASBI sebetulnya sama dengan soal tenaga kerja yang lain di dalam negeri. Persoalan pokoknya di kemauan negara untuk membuka pekerjaan dan memberikan perlindungan terhadap pekerjanya. Secara khusus TKI ada hubungan dengan negara luar dan saya tidak bicara per kasusnya, karena kasus yang ada sekarang hanya sebagian kecil. Di dalam negeri sendiri, ada ratusan ribu kasus yang dialami oleh calon TKI mulai dari penelantaran, penipuan dan deportasi. Kalau pertanyaannya perlu atau tidak perlu, jawabannya tidak perlu jika negara membuka lapangan pekerjaan. Dan secara ideal negara membuka lapangan pekerjaan, sehingga tidak ada lagi calon TKI dipaksa ke luar negeri. Ini soal kewajiban negara untuk mengambilalih, tidak diserahkan ke pihak swasta. Indonesia cenderung mengikuti saja pasar bebas dan sebetulnya negara harus mengambilalih. Kecenderungan mengikuti pasar bebas menjadi sumber persoalan. Karena diserahkan ke swasta, maka dia hanya cari untung. Itu dua hal yang mungkin seharusnya menjadi jalan keluar, kalau tidak bisa membuka lapangan pekerjaan, maka negara harus mengambilalih sampai ke level bawah. Concern KASBI lebih banyak menyadarkan pada massa di bawah, pendidikan terhadap keluarga buruh migran maupun buruh migrannya. Ruth Indiah Rahayu: Pendidikannya bagaimana? Beno Widodo: Kita berangkat dari Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah, yang sebetulnya di situ banyak kelemahannya. Yang kita dapati adalah setiap kasus yang terjadi harus mendapatkan persetujuan di tempat. Hal ini tidak diketahui oleh buruh-buruh yang akan berangkat. Kami menjelaskan apa resiko yang akan dihadapi, karena pilihannya tetap ada di kawan-kawan. Mungkin itu dulu sebagai pengantar Ruth Indiah Rahayu: Kalau saya catat dari Mas Beno, seharusnya pengiriman buruh migran ini dilakukan oleh negara, bukan oleh swasta. Apakah negara lain juga melakukan hal yang sama dan apakah ada bedanya jika dilakukan oleh negara dan swasta? Pertanyaan ini bisa dijawab mungkin oleh Mas Nur. Nur Harsono: Saya yakin teman-teman di sini sudah mengerti mengenai persoalan-persoalan TKI, karena teman-teman sudah sering mendapatkan informasi dari koran atau media televisi. Kasus yang paling mendapatkan perhatian publik adalah kasus Sumiyati, dan saya kira yang menjadi catatan adalah kasus TKI dari dulu sampai sekarang, tidak ada bedanya. Tahun 85 itu muncul Nasiroh, TKI asal Cianjur yang mengalami penganiayaan. Ada juga kasus yang muncul di periode Gus Dur, yang melakukan langkah diplomatik dengan menelpon Raja Fahd, dan akhirnya urung dieksekusi. Kasus-kasus ini merupakan hasil dari desain rezim Orde Baru yang dilanggengkan sampai saat ini. Pengiriman TKI ini mulai diatur sejak tahun 80, kemudian tahun 90-an sampai 98. Lalu, ini justru didorong oleh Menteri Pak Sudomo untuk dijadikan program paket transmgirasi, satu paket dengan mengekspor tenaga kerja ke luar negeri, sehingga muncullah Kepmen pada tahun 98-an. Kemudian diprogramkan lagi melalui Permen 104 A dengan target pengiriman 400.000 orang. Dan menjelang terbitnya UU No. 39 Tahun 2004, menargetkan sekian ratus ribu orang ke luar negeri dan berlangsung sampai sekarang. Program ini merupakan produk andalan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Yang konyol lagi, muncul Rencana Strategi Nasional tahun 2010-2014, di mana Depnaker menargetkan 2.500 orang, tapi sebelumnya ada Renstra 2004-2009 yang mendorong 3.500 orang untuk ke luar negeri. Kalau tadi Mas Beno bilang seolah negara absen memberikan lapangan kerja, itu adalah sebuah fakta dan bukti. Dalih untuk mendapatkan devisa justru mengorbankan rakyat dan sebetulnya ini adalah indikasi perdagangan manusia. Kalau kita lihat desainnya dari tahun ke tahun, buruh migran sebagai komoditi adalah fakta yang tidak terbantahkan. Kalau dulu orang mau jadi TKI karena kemiskinan, tapi sekarang bukan kemiskinan lagi, karena teman-teman kami contohnya, yang bertani sudah tidak mau lagi bertani, karena sudah dianggap terus merugi. Ada juga orang yang sudah punya mobil, tapi masih mau jadi TKI dan bahkan tiga generasi. Nah, kalau ini dijadikan produk andalan oleh pemerintah, maka nuansa ini adalah nuansa komiditi semua, pasal per pasalnya adalah komoditi. Dari sekian ratus pasal, yang berbunyi perlindungan hanya 8 pasal dan sisanya adalah penempatan dan juga pembagian "kue." Artinya, memang faktanya pemerintah sengaja mengkomodifikasi rakyatnya untuk tetap didorong menjadi TKI dengan target devisa. Kalau menghitung remitensinya, pemerintah sangat hafal, tapi kalau satu kasus saja, lima bulan belum tentu gol, karena tidak punya mekanisme penyelesaian kasus. Seolah-olah TKI yang bermasalah selesai dalam perlindungan asuransi. Padahal sulit diklaim, karena yang memegang polis asuransinya adalah PJTKI-nya. Dan ini jadi proyek lagi, karena asuransi proteksi itu ditunjuk oleh menteri, yang sebetulnya adalah pelanggaran terhadap UU Persaingan Usaha. Menurut kami, penempatan TKI ini tidak boleh dijadikan program nasional. Selama ini dijadikan program nasional untuk mengurangi pengangguran, maka yang terjadi adalah komodifikasi. Jadi, ada harga manusia yang dipertaruhkan. Yang lucu sekarang adalah memberikan HP. Di Saudi, alamat yang ditulis di kertas pun disita dan barang-barang lain juga disita. Menurut saya, boleh jadi TKI asal itu pilihan dan bukan paksaan, dan seharusnya itu program temporary serta tujuannya mengambil ilmu dari TKI untuk diberdayakan di sini. Ruth Indiah Rahayu: Baik. Terus untuk Mas Jamal dari SBMI. Kalau Mas Beno dan Mas Nur mengatakan tadi ada masalah komersialisasi tenaga kerja dan kedua, pengucilan terhadap rakyat dari ruang produksinya. Ini solusinya apa, karena yang saya dengar, tuntutannya selalu pemenuhan hak terhadap tenaga kerja. Bagaimana sikap SBMI? Jamaluddin Suryahadikusuma: Saat ini, pemerintah tidak punya data secara global mengenai berapa buruh migran yang ada di luar negeri. Memang buruh migran ini tersebar di beberapa negara dan nomor 1 ada di Malaysia sebesar 40%, lalu 30% di Arab Saudi, dan sisanya tersebar di Asia Pasifik dan Amerika. Mengenai kasus-kasus TKI, ada kasus sakit akibat kerja dan di sini, kita melihat bahwa sebelum berangkat, calon TKI harus diperiksa secara medis, karena seringkali di sana sakit dan dipulangkan. Lalu, masalah gaji tidak dibayar juga banyak, penganiayaan, dokumen tidak lengkap, pelecehan seksual, dan banyaknya TKI hamil, dan lain-lain. Akar permasalahan itu sendiri berasal dari regulasi. Di sini, kita lihat bagaimana keengganan pemerintah, di mana rezim menolak untuk meratifikasi dan alasan kami mendorong adalah karena isi dari konvensi itu banyak menyangkut hak ekosob dan kemudian politik. Tapi di sinilah, tidak ada kemauan pemerintah untuk meratifikasi, padahal harapannya itu bisa jadi rujukan untuk UU di dalam negeri. Keengganan pemerintah untuk melindungi pekerja rumah tangga―padahal 80% pekerja di luar negeri bekerja menjadi pekerja rumah tangga―terlihat dari keengganan Muhaimin, yang menolak Konvensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Sampai saat ini, kawan-kawan menuntut hak asuransinya, dan masih mengalami kesulitan, karena asuransi hanya mau membayarkan 30% dari 100% yang seharusnya diberikan. Kita melihat bahwa asuransi yang ada saat ini diberikan pada swasta. Ketika kita bicara buruh migran, maka kita bicara dari hulu ke hilir. Hulunya diperbaiki dulu, baru kemudian hilirnya. Saat ini, buruh migran banyak mendapatkan informasi dari calo, sedangkan pemerintah tidak pernah melakukan sosialisasi. Berdasarkan riset kami, kawan-kawan yang mendapatkan informasi dari pemerintah hanya 0,5% dan sisanya didapat dari PJTKI, tetangga, atau teman yang datang dari luar negeri. Ini beberapa contoh kasus yang ditangani SBMI. Kebanyakan karena kasus bahasa dan ini berkaitan dengan pendidikan, ini jadi persoalan juga. Ruth Indiah Rahayu: Kawan-kawan, saya garis bawahi, dari tiga narasumber, ada beberapa hal yang tampaknya harus kita diskusikan. Saya memperoleh fakta mengenai pengangguran, orang yang tersingkir dari ruang produksinya. Kemudian, tidak ada kemauan politik untuk membenahi hilir dan hulu. Perluasan arti komoditi. Jaminan sosial yang diserahkan ke bisnis keuangan dalam arti asuransi. Saya kira tiga hal ini yang akan kita eksplorasi. Irwansyah (Jemi): Memang kesempatan yang baik, kita bisa diskusi tentang buruh migran, meskipun di media massa juga sudah ramai. Sebetulnya, saya pribadi ada harapan lain, hal baru yang bisa di eksplorasi, karena apa yang disampaikan juga sudah muncul di media massa, soal lemahnya tanggung jawab negara, dan lain-lain. Tapi kalau buat saya pribadi, yang menggelitik adalah dalam perdebatan kurang informasi mengenai solidaritas di antara rakyat miskin, karena teman-teman tadi bilang, yang jadi buruh migran pasti rakyat miskin. Kalau di Jakarta marah dan di TV marah dengan kasus Sumiyati, apakah di kampung mereka juga ada kemarahan mengenai hal itu? Apakah di kampung orang marah mengetahui terus-menerus ada siklus mengirimkan orang untuk dipekerjakan di luar? Kalau tidak ada, terkait solusi, mungkin yang mau cari solusi juga belum muncul. Persoalan buruh migran, saya duga, bukan ada di Indonesia saja. Ini sudah jadi persoalan global, di mana tren negara miskin dan berkembang adalah mengirimkan buruh migran untuk mendapatkan devisa. Apakah ada pengorganisasian politik untuk memperjuangkan hak bersama? Apakah tidak ada solidaritas antar-negara untuk menyelesaikan persoalan ini? Yang terbayang pada saya, nanti justru ada persatuan pekerja di negara-negara tujuan TKI. Saya pikir ini persoalan kemanusiaan dan tentu saja kita harus meminta tanggung jawab pemerintah. Tetapi kalau trennya seperti saat ini, apakah tidak ada persatuan politik di negara-negara yang menjadi tujuan pekerja? Ken Budha Kusumandaru: Satu hal yang menarik adalah bahwa yang namanya buruh migran ini sebagian besar datang dari pedesaan. Aku melihat bahwa persoalan buruh migran tidak bisa diatasi di kota, persoalan ini hanya bisa diatasi di pedesaan. Dari semua yang tadi disampaikan, kalau aku mengambil kesimpulan yang lebih tegas bahwa sistem yang dibangun negara ini adalah sistem yang mengeksploitasi. Jadi ada persoalan bagaimana pemerintah tidak mau memberikan informasi di pedesaan, ini adalah satu hal yang disengaja. Berhadapan dengan kesengajaan itu, aku melihat bahwa persoalan buruh migran hanya bisa diatasi kalau pengorganisiran buruh migran dijembatani antara kota dengan desa, bagaimana pengorganisiran desa dilakukan. Karena sebagaimana yang dibilang tadi, informasi didapat dari tentangga, calo, dan lain-lain. Hal ini tidak bisa dilawan dengan kekuatan dari luar. Kalau kita masih menganggap bahwa kita adalah orang yang datang menolong pasti akan ada sekat, sementara yang kita butuhkan adalah mereka berdaya untuk menolong dirinya sendiri. Aku rasa yang perlu kita pikirkan ke depan adalah bagaimana mengorganisir masyarakat pedesaan, model seperti apa, dan ini mungkin bisa dibicarakan antar-serikat buruh, karena persoalan buruh ini tidak berdiri sendiri. Budi Siluet: Menyambung Jemi dan Ndaru bahwa yang jadi buruh migran ini dari desa. Kalau Jemi tadi katakan, apakah hanya warga kota yang memaki? Sebetulnya warga desa juga melakukan itu, hanya saja mereka mengeluh. Dan betul yang dikatakan Ndaru bahwa mereka ini tidak terorganisir dan ini harus ada sambungan dari kota ke desa. Eka Pangulimara: Waktu itu, KASBI pernah mengadakan diskusi dengan tema "Buruh Migran Yang Jadi Budak." Di situ muncul analisa tentang absennya tanggung jawab negara dan apa yang harus dilakukan. Sebuah informasi yang didapat adalah sebuah model pengorganisiran. Model pengorganisiran menurut KASBI yang bisa ditelisik sampai keluarga, bisa menghasilkan FKBMI. Di situ bukan cuma menyoroti buruh migrannya, tapi keluarga itu sendiri yang perlu diberikan penjelasan mengenai buruh migrannya itu, lalu informasi mengenai bagaimana berhadapan dengan calo. Ruth Indiah Rahayu: Mulai dari masalah solidaritas sampai model pengorganisiran untuk menyambungkan kota ke desa. Jamaluddin Suryahadikusuma: Seperti apa yang tadi ditanyakan oleh Jimi tentang kemarahan warga kota dan desa. Kemudian, solidaritas antar-negara pengirim buruh migran dan juga masalah model pengorganisasian buruh migran. Selama ini, SBMI mecoba merujuk pada konvensi internasional perlindungan terhadap buruh migran dan keluarganya. Jadi, yang kita organisir juga buruh migran, calon, mantan, dan juga keluarganya. Kita ada 42 cabang dan itu tidak mudah, karena membangun kesadaran kritis itu tidak mudah. Selama ini, yang jadi pintu masuk pengorganisasian adalah dari mereka yang bermasalah, karena yang tidak punya masalah cenderung tidak peduli. Di desa juga banyak perlawanan dari calo, kepala desa, pemuka agama, yang secara jelas menolak adanya organisasi, karena kepala desa atau pemuka agama juga banyak yang jadi pengirim dan itu juga menyulitkan. Aksi massa di desa juga cenderung disikapi dengan antipati, karena mereka khawatir terhadap kondisi anggota keluarganya yang lain. Desakan agar moratorium dibuka juga cukup luar biasa, tapi mereka tidak memikirkan bagaimana dampaknya. Solidaritas antar pengirim, ada beberapa organisasi buruh migran di Hongkong. Mereka juga berkoalisi dengan organisasi buruh migran asal Filipina dan saat ini, kepemimpinannya dipegang Purwanti yang jadi koalisi tenaga kerja di Hongkong. Tapi terbatas pada negara Asia Pasifik, terutama Hongkong, karena di luar Hongkong dan Taiwan agak sulit akibat tidak ada libur dari majikannya. Nur Harsono: Memang idealnya buruh migran itu berorganisasi. Namun demikian, buruh migran ini di luar negeri dan ini yang jadi masalah. Di Hongkong ada beberapa organisasi, tetapi di negara lain sangat sulit untuk berorganisasi. Dan yang sekarang belum pernah diaudit adalah berapa pemberian dari agensi ke KBRI yang ada, karena job order dari negara pengguna pasti direkomendasikan oleh KBRI dan KJRI. Itu konon ada bayarannya. Kemudian, di dalam negeri Depnaker mengerahkan SIP. Jadi, itu semacam suap. Kalau dalam negeri, kalau Mas Jamal mengacu pada konvensi, masyarakat tidak mengerti itu. Organisasi itu kebutuhan dan mestinya yang berorganisasi adalah mantan, calon dan keluarga TKI yang mengerti kebutuhan itu. Bagaimana menjembatani antara kota dan desa tadi? Ini perlu perjuangan panjang, yang sebetulnya ini mandat dari SBMI. Dulu Jarnas kongres dan menjadi FOKMI, akhirnya jadi Federasi dan setelah Federasi, jadi Serikat yang sebetulnya tujuannya adalah tidak cair dan kemudian dibuat pendaftaran anggota. Sebetulnya, SBMI ini dulu mandatnya untuk menjembatani antara kota dan desa. Saya tidak tahu Mas Jamal dan saya kira mestinya sudah ketahuan berapa jumlah anggotanya, karena anggotanya calon, mantan dan keluarga TKI. Solidaritas antar-negara ada di Hongkong dan Korea. Taiwan sudah mulai, tapi belum seprogresif di Korea. Soal siapa yang melakukan pengorganisasian, saya kira ini soal penyadaran bahwa berorganisasi adalah kebutuhan dan untuk menjawab persoalan-persoalan yang kita hadapi. Ruth Indiah Rahayu: Sebelum Beno, pernyataan Mas Nur tadi bahwa sudah ada wadah untuk menjembatani antara kota dan desa yaitu SBMI. Jamaluddin Suryahadikusuma: Memang saat ini, kita masih banyak mengalami kendala, terutama dalam bagaimana membangun penyadaran kritis. Saat ini, yang dilakukan SBMI adalah bahwa syarat untuk mendirikan Dewan Pimpinan Kecamatan ada 3 basis di desa dan basis itu minimal ada 20 orang, dan baru DPK, kemudian terbentuk DPC, setelah itu ada DPW. Persyaratan DPC itu ke Disnaker setempat dan saat ini agak sulit, karena banyak pihak menolak serikat buruh migran ada di Indonesia. Mereka melihat bahwa harusnya di luar negeri. Jadi penolakan dari pemerintah cukup resisten. Ruth Indiah Rahayu: Mas Beno, bagaimana menjembatani buruh antar-sektor ini? Beno Widodo: Kawan Jemi bilang bahwa fenomena ekspor manusia ini sudah mengglobal, tapi sebetulnya persoalan migrasi ini bukan nilai ekonomi. Satu temuan lapangan saya adalah migrasi dalam negeri juga. Dan ada satu kepentingan politik antar-negara untuk menghadang tekanan politik dari negara lain, dan hal ini terjadi di proses pengiriman TKI. Hal itu dikupas di "Metro Realitas" pada Juli 2009. Di luar itu ngomong soal kemarahan dan solidaritas, kita harus lihat dari proses yang ada. Kalau marah itu pasti ada dan solidaritas itu juga pasti ada, tapi pertanyaannya kenapa ini tidak jadi alat pukul yang kuat. Salah satunya, menurut saya, adalah dampak sosial dari proses migrasi itu sendiri. Budaya, dalam hal ini pola pikir dan perilaku, dalam temuan lapangan kita di daerah, mulai dari Indramayu-Subang-Karawang-Sukabumi, yang namanya TKW, kalau dia pergi ke luar, suaminya pasti nikah lagi, bahkan ada yang punya 3 istri. Ini dampak dari pola pikir, sehingga ini jadi salah satu penghambat bagi proses solidaritas itu. Aku sepakat sistem telah membuat manusia menjadi saling cari untung dari penderitaan orang lain. Soal solidaritas, temuan saya di Indramayu, orang akan bersolidaritas dengan lebih besar ketika itu terjadi dalam negeri, tapi ketika ada kasus terjadi di luar negeri, solidaritasnya tidak sebesar kasus dalam negeri, misalnya ketipu calo. KASBI melalui proses panjang melakukan pendidikan kesadaran kepada keluarga buruh migran. Sebelum kita di luar negeri bisa bangun organisasi buruh migran yang solid, sebetulnya basic-nya adalah kantong masyarakat yang jadi sasaran buruh migran. Soal komunikasi dengan luar negeri, KASBI belum mampu secara lebih kuat membangun solidaritas itu di antar-negara itu sendiri, tapi itu juga karena propaganda dari negara itu sendiri ke masyarakatnya. Jamaluddin Suryahadikusuma: Saya sepakat dengan Beno. Memang tidak mudah kita datang ke desa dan mengajak atau membangun kesadaran untuk membangun organisasi. Fenomena di desa itu cukup luar biasa, karena tingkat perceraian yang paling tinggi itu berasal dari buruh migran (80%). Tidak semua laki-laki juga jahat, karena saya pernah menangani kasus di mana dia seorang supir yang diminta melayani majikannya dan sampai kemudian akhirnya menimbulkan persoalan, dan dia minta pulang. Ruth Indiah Rahayu: Saya buka lagi termin. Muhammad Ridho: Pertama, saya lihat dari proses pendiskusikan ini, kita secara eksklusif hampir gagal menghubungkan apa yang terjadi di desa dengan di kota. Teman-teman berhasil membangun argumen bahwa industrialisasi di desa menghancurkan relasi di desa dan akhirnya menimbulkan buruh migran. Namun, yang harus kita perhatikan adalah industrialisasi ini ada kaitannya dengan proses di kota. Mungkin bisa jadi renungan bahwa apa yang menyebabkan penghancuran di desa adalah proses finansialisasi di kota. Kenapa banyak tanah yang disingkirkan, karena ada proses akumulasi di tingkatan kota dengan modus finansialisasi. Mungkin pendidikan politik yang harus dilakukan adalah pendidikan untuk melihat persoalan secara lebih komprehensif. Dengan melihat hal ini secara utuh, kita juga akan semakin kreatif dalam melakukan pengorganisasian. Beno Widodo: Yang bisa kita hubungkan adalah di mana pusat kekuasaan dan di mana kantong kekuatan massa, dan mungkin yang bisa didalami oleh kita-kita, sehingga ketika masuk, kita tidak lagi kaget bagaimana menggunakan kesadaran mereka hingga menjadi kesadaran yang dapat menggerakkan mereka untuk melakukan sesuatu. Ruth Indiah Rahayu: Ada tidak ditemukan data buruh migran yang tidak lagi ke luar negeri, sehingga menjadi buruh pabrik dan begitu juga sebaliknya? Beno Widodo: Kalau contoh yang saya temukan secara pribadi, ada dua orang, yaitu temannya Ponisah, dan saya temukan penampungannya di Pondok Gede. Satu lagi masih bekerja, ditawari dan dia kerja di Arab. Jadi praktis ada dan fakta-fakta itu juga cukup banyak, dan itu menunjukan calo lebih ganas masuknya. Di sisi lain, pengetahuan masyarakat masih minim, minimal tentang mana yang benar atau tidak. Nur Harsono: Sebenarnya ini terkait dengan strategi advokasi, bagaimana agar desain advokasi bisa menjadi penyadaran pada buruh migran, sehingga mereka tertarik berorganisasi. Kalau ditengok sejarah dulu, sebetulnya strategi untuk memberikan penyadaran itu macam-macam, kalau KASBI tadi lewat bagaimana persoalan di daerah itu juga terangkat (pertanian, industrialiasi, dan lain-lain). Ini memang tidak mudah, tapi fokus pada buruh migran ada keunikan tersendiri. Menurut saya pribadi, yang mungkin sampai sekarang mengilhami beberapa gerakan buruh migran adalah deportasi massal besar-besaran tahun 2003-2004. Strategi advokasi itu, kalau kemudian advokasinya salah, maka selamanya TKI itu tidak akan mau diajak. Metodenya adalah penyadaran yang tidak menggurui, sehingga mereka sendiri menyadari, punya motivasi dan punya kekuatan untuk berjuang bagi dirinya sendiri, sehingga berkontribusi ke yang lain. Hal-hal demikian yang mengilhami serikat buruh dan tidak bisa dipungkiri bahwa kebearadaan Ompong (Darto) ini mengilhami buruh-buruh migran yang lain. Di sisi lain, kita masih mengakui bahwa serikat buruh belum bisa bersatu, tapi itu pilihan-pilihan yang menurut saya silahkan saja. Jamaluddin Suryahadikusuma: Pengalaman pribadi kadang memang membuat kita mulai sadar. Saya sendiri mengalami ketika saya lulus sekolah, kemudian saya melihat kalau saya sendiri ingin jadi buruh migran, bukan karena ingin memperbaiki ekonomi. Saya waktu itu ingin jadi buruh migran, karena saya "gengsi" dan sekarang fenomena migrasi itu sudah beralih jadi "gengsi karena gaya hidup" atau sudah menjadi suatu cita-cita. Pada saat itu, karena saya tidak punya informasi mengenai cara migrasi yang aman, akhirnya saya terkena penipuan dua kali sampai akhirnya saya berjuang dan akhirnya PJTKI itu dicabut izinnya. Setelah itu, saya bergabung menjadi volunteer di beberapa NGO dan akhirnya bekerja di SBMI. Hal yang saat ini kami lakukan adalah training, advokasi kebijakan, dan juga training pelatihan paralegal serta pengorganisasian. Masalah perjanjian kerja, memang banyak sekali yang tidak paham perjanjian kerja dan penempatan. Ruth Indiah Rahayu: Karena waktu sudah malam, saya kira diskusi kita sudahi dan terima kasih pada narasumber."

0 comments:

Posting Komentar

Terimaksih anda Telah Mengomentari artikel saya.

 

© Copyright by Berita online Lampung Tengah | By Nurmanto