blog how to, blog trick, blog tips, tutorial blog, blog hack

Senin, 24 Agustus 2009

Wacana walikota dan Bupati dipilih DPRD

Berita ibukota ; Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) mengatur semua kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) yang sebelumnya dipilih oleh DPRD, menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Alasan pokoknya karena pemilihan kepala daerah oleh DPRD dinilai mengecewakan rakyat.
Namun, pilkada langsung pun belakangan ini menuai banyak kritik. Muncul wacana perlu adanya evaluasi hal itu. Beberapa tokoh menyarankan pemilihan kepala daerah dikembalikan seperti semula, melalui DPRD.Ketua PBNU K.H. Hasyim Muzadi, seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kantor Presiden pada akhir Januari 2008 misalnya, menilai pemilihan kepala daerah mestinya tidak dilakukan secara langsung karena selain menimbulkan konflik yang berujung pada perpecahan, juga hanya menghambur-hamburkan uang negara.

Pada akhir 2007, Peserta Program Pelatihan Reguler (PPPR) Angkatan 40 Lemhannas juga mengusulkan agar proses pemilihan gubernur diubah. Gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Alasannya, posisi gubernur merupakan kepanjangan tangan presiden di daerah. Wacana serupa pun digulirkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto belum lama ini. Alasan Mendagri, antara lain terkait dengan besarnya biaya dan lamanya proses pemilihan seperti dalam kasus pemilihan Gubernur Jawa Timur.

Kalangan DPR menyambut positif usulan tersebut. Anggota F-KB Saifullah Ma'sum, misalnya, meminta pemerintah dan DPR segera melakukan revisi UU No 32/2004. Ketua F-PD Syarief Hasan juga demikian. Dia menilai usulan itu sebagai wacana yang patut didukung. Pakar otonomi daerah dari LIPI, Siti Zuhro, berpendapat lain. Menurutnya, pilkada langsung di tingkat kabupaten/kota merupakan sarana strategis bagi pembelajaran demokrasi. Pilkada harus dilepaskan dari rezim otonomi daerah (otda).

Dalam konteks itu, ia mengkritik penempatan ketentuan mengenai pilkada langsung ke dalam perundangan otonomi daerah. "Ini yang harus dievaluasi, karena pilkada secara langsung di daerah harusnya masuk dalam UU pemilu," kata dia di Jakarta, kemarin.

Ia mengungkapkan dalam penelitiannya mengenai otonomi daerah, kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah semakin lemah seiring masuknya pilkada dalam rezim otda. "Dengan itu maka koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi timpang," ujar dia.

Meski demikian, untuk menyusun langkah koordinasi, pemerintah harus mencari jembatan penghubung antara pusat dan daerah. Dalam sistem otonomi yang bertumpu pada otonomi kabupaten/kota, jembatan yang strategis adalah tingkat provinsi. "Provinsi diubah fungsinya, bukan sebagai daerah otonomi. Namun sebagai sarana bagi koordinasi pusat-daerah," kata dia.

Dengan perubahan fungsi itu, lanjutnya, gubernur selaku kepala daerah provinsi tidak perlu dipilih secara langsung. "Gubernur bisa ditunjuk oleh DPRD." Tugas gubernur pun bukan sebagai kepala daerah, melainkan sebagai pengawas, pembina, dan perwakilan pusat.

Dengan pembatasan otonomi daerah, kata dia, keseimbangan antara pusat dan daerah dapat berjalan baik. Namun, ia mengingatkan agar otda harus fokus di tingkat kabupaten/kota. "Ini merupakan amanat konstitusi," kata dia.

Pendapat senada dilontarkan pakar hukum tata negara Andi Irman Putrasidin. Konsep otda di Indonesia, katanya, menitikberatkan pada tingkat kabupaten/kota. "Ini harus dilakukan secara konsisten."

Ia juga menyatakan, pilkada langsung di daerah merupakan sarana pembelajaran demokrasi. Setidaknya dalam lima tahun, aparat dan rakyat belajar melakukan demokrasi di wilayahnya masing-masing. "Terbukti dalam pemilu kemarin tidak ada konflik atas pemilu presiden. Jadi pembelajaran berhasil," kata dia.

Di sisi lain, dia mengakui pilkada langsung terdapat sejumlah kelemahan. Namun, kelemahan itu tidak berarti harus mengembalikan pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD

0 comments:

Posting Komentar

Terimaksih anda Telah Mengomentari artikel saya.

 

© Copyright by Berita online Lampung Tengah | By Nurmanto